Nabi Muhammad saw memberikan contoh penting dalam membangun bangsa dan negara. Di tengah realitas perbedaan yang kompleks, mulai dari suku hingga agama, Nabi mempertemukan perbedaan itu pada titik persamaan dengan hadirnya Piagam Madinah.
Perbedaan kerap menjadi jalan terjal dalam menjalani kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini kerap meruncing menjadi konflik sehingga kehidupan menjadi tidak aman dan tidak nyaman. Terlebih perbedaan itu terkadang dipaksakan kepada orang lain agar sama.
Pemaksaan inilah yang tak jarang menjadi batu sandungan keharmonisan bermasyarakat. Karenanya, Islam menekankan tidak ada paksaan dalam agama sebagaimana difirmankan Allah swt dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256. KH Said Aqil Siroj dalam berbagai ceramahnya menjelaskan bahwa ayat tersebut juga memberikan arti tidak ada agama dalam sebuah pemaksaan.
Hal tersebut yang ditekan Nabi Muhammad saw, bahwa perbedaan bukanlah menjadi soal. Karenanya, meskipun ia seorang nabi dan rasul yang tentu saja memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam berbagai hal karena hubungan transendennya dengan Allah swt terjalin secara langsung, tetapi ia tetaplah seorang manusia yang memiliki jiwa sosial. Bagian itu pula yang ia kedepankan dalam berhubungan dengan manusia lainnya, tak terkecuali dengan mereka yang berbeda, baik dari segi sukunya, maupun agamanya.
Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw menciptakan kesepakatan dengan kelompok lain yang tinggal bersama di Kota Yatsrib yang kemudian dikenal dengan nama Madinah. Kesepakatan itu dinamai Piagam Madinah. Munawir Sjadzali dalam Islam and Governmental System: Teaching, History, and Reflections (1991: 8), menjelaskan bahwa piagam tersebut dicanangkan Nabi Muhammad saw tinggal di kota tersebut sekitar dua tahun.
Piagam itu dibuat guna mengatur kehidupan dan hubungan masyarakat sebagai komponen yang demikian majemuk. Hal ini mengingat di Madinah tidak hanya hidup kelompok Islam yang diwakili kelompok Ansor (penduduk asli Madinah yang mengundang Nabi untuk hijrah ke kotanya) dan Muhajirin (penduduk Makkah yang hijrah ke kota tersebut), tetapi juga ada umat Yahudi dan suku-suku lain seperti Khazraj, Aus, dan lainnya.
Nurcholish Madjid menyebut Piagam Madinah ini sebagai dokumen politik pertama dalam Islam, sebagaimana dikutip Fachry Ali dan Bachtiar Effendy dalam Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (1992). Konstitusi ini, menurutnya, merupakan rumusan prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslimin Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah dengan berbagai kelompok yang bukan Islam untuk membangun masyarakat politik bersama.
Tidak hanya itu, kesepakatan ini juga menjadi dasar pandangan hidup modern berupa kebebasan berkeyakinan, hak kelompok dalam mengatur hidup sesuai keyakinannya masing-masing, kebebasan bertransaksi dalam jalinan ekonomi, dan sebagainya, hingga adanya suatu kewajiban bersama secara umum, yakni pertahanan yang dijaga bersama-sama dengan partisipasi dari seluruh kelompok guna menghadapi serangan musuh.
Senada, Munawir Sjadzali (1991) juga menyebut hal yang sama, bahwa banyak ilmuwan yang pemimpin agama yang menyebut Piagam Madinah sebagai sebuah konstitusi bagi negara Islam yang didirikan Nabi Muhammad saw di Madinah. Menurutnya, konstitusi Piagam Madinah ini menjadi fondasi penting bagi kehidupan masyarakat yang plural. Karenanya, antara kelompok Muslim dan kelompok yang bukan Muslim dapat hidup bersama di atas prinsip (1) tetangga yang baik, (2) saling bahu-membahu dalam menghadapi musuh bersama, (3) melindungi mereka yang teraniaya, (4) saling menasihati, dan (5) menghormati kebebasan beragama.
Musyawarah
Sebagai makhluk sosial, Nabi Muhammad saw tidak memutuskan segala persoalan secara pihak, tetapi dibicarakan dengan bermusyawarah. Hal demikian bukan sekadar didakwahkan dengan kata-kata, tetapi juga melalui aksi. Hal ini juga sejalan dengan firman Allah swt dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Artinya, “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
Dijelaskan Munawir Sjadzali (1991), bahwa Nabi Muhammad saw berdiskusi dengan para sahabatnya dalam memutuskan berbagai perkara. Secara rutin, Rasulullah saw juga berkonsultasi dengan sahabat-sahabat yang lebih senior. Bahkan, Nabi juga meminta saran dari para profesional di bidangnya. Apalagi dalam memutuskan persoalan berupa konflik, Nabi tentu tidak secara sendirian menentukan keputusannya, melainkan didasarkan pada kesepakatan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya.
Hal ini tampak dalam perjanjian Hudaibiyah, misalnya, yang sebetulnya menyudutkan kelompok Muslim. Namun, demi menjaga stabilitas politik, Nabi Muhammad saw memutuskan sesuai kesepakatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw memberikan teladan dengan sikapnya yang tidak egois, tetapi yang dipikirkan adalah kemaslahatan dan kepentingan bersama.
Dari situ, Rasulullah saw mendirikan suatu entitas bangsa di atas kesepakatan berdasarkan musyawarah bersama. Hal inilah yang diteladankan Nabi kepada umatnya dan bangsa dunia.
Komentar