Tantangan NU dan Pesantren di Tengah Perkembangan AI

Opini131 Dilihat

Perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah mengalami kemajuan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Apa dampak AI ini dalam kehidupan kita di era yang serba cepat ini? Bagaimana pula cara AI bekerja?

Apakah kita hanya akan duduk manis tinggal diam sambil melihat AI bekerja, atau memilih mengikuti alurnya sambil ikut terlibat di dalamnya? Jika iya, apa yang semestinya kita lakukan agar bisa cawe-cawe, khususnya dalam hal keagamaan?

Jurnalis NU Online, Ahmad Naufa berkesempatan wawancara dengan Prof Etin Anwar ketika berkunjung kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jumat (7/7/2022) lalu. Ia merupakan warga NU yang menjadi guru besar studi agama di Hobart and William Smith (HWS) Colleges, New York, Amerika Serikat.

Selain sedang meneliti tentang konsep pesantren hijau, Prof Etin juga sudah meriset Imaging Islam True AI (Pencitraan Islam yang Benar versi AI). Bahkan, setahun terakhir, Wakil Rais Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat-Kanada itu telah mengembangkan AI.

“Ini saya kasih lihat. Ini belum diluncurkan. Khusus pada NU Online, saya kasih tahu pertama,” ungkapnya, sambil memperlihatkan platform AI yang fokus pada Muslim Art di laptopnya.

Berikut adalah petikan wawancara lengkap NU Online mengenai artificial intelligence (AI) dan bagaimana NU dan Pesantren mesti menghadapinya, dengan perempuan yang sudah tinggal 10 tahun di AS itu.

Apa pandangan Ibu tentang AI?

Ya, kalau artificial intelligence ini kan sebagai sebuah tool (alat) bisa berguna bagi orang Islam. Karena bisa berguna bagi orang Islam, maka satu sisi juga bisa menjadi ancaman. Berguna, karena itu mempermudah penyebaran informasi mengenai Islam. Ancaman, karena AI bisa menjadi sumber otoritas kebenaran, apalagi bagi yang awam.

Orang malu bertanya langsung, tetapi kalau ke AI kan sangat privat, dan sangat individualis. Pertanyaannya apa, jawabannya apa, gitu. Itu hampir sama dengan Google. Bedanya kalau search di Google jawabannya banyak alternatifnya. Nanti kita milih mana yang mau di-klik. Kalau di AI jawabannya itu kemungkinan narrated dan satu jawaban.

Nah, itu mungkin yang akan membuat tantangan, terutama bagi orang yang sudah merasa: “Ah, udah cukup,” gitu, dengan satu jawaban.

Apa yang mesti dilakukan media NU dan kalangan pesantren dalam menghadapi ini?

Mungkin gini. Kalau dalam artificial intelligence itu garbage in, garbage out. Jadi informasi yang masuk itu – apapun – bisa menjadi bahan olah. Ada black box istilahnya, proses di mana AI itu sendiri memilih dan memilah, baru nanti ada outcome-nya itu informasi yang kita dapatkan.

Nah, karena semua informasi yang sudah ada itu digunakan oleh AI untuk menjawab pertanyaan, sebagai training data, istilahnya, maka jawaban itu akan sangat tergantung dengan semua informasi yang ada ini.

Kalau misalkan bagaimana Nahdlatul Ulama atau NU Online ingin menjadi bagian dari solusi kebenaran dalam versinya AI, kita harus memperbanyak data untuk masuk menjadi bahan olahannya AI.

Jadi, sekarang ini diseminasi datanya dipertinggi, karena nanti kalau proses kita kan itu berdasarkan coding, proses bagaimana itu olahannya. Bahkan sebenarnya kita tidak tahu prosesnya seperti apa. Codingnya dibuat, kemudian nanti bisa keluar seperti jawabannya AI. AI itu kan robot, chatbot – berbeda banget dengan Google search – bisa ngobrol. Tambah lagi informasinya, ya bisa ngobrol lagi.

Tantangannya apa untuk menyuplai informasi, bahan atau materi ke-NU-an atau Aswaja kita ke AI itu?

Jadi begini. Selama ini itu banyak sekali informasi-informasi yang bias tentang Islam, misalkan, secara khusus. Dan AI itu, awal mulanya itu, termasuk Chat-GPT, language processing secara umum, itu sangat bias sama Islam. Itu ada riset tentang Artificial Intelligence and Islamofhobia. Jadi pada awalnya ada kecenderungan untuk bias sama Islam. Ketika diketik dua orang masuk ke ruangan, terus katanya meledakkan apa, gitu.

Sama juga dengan gambar-gambar perempuan. Ketika gambar perempuan berkerudung itu dimasukkan sebagai data training, itu langsung aja identifikasinya dengan terrorism. Jadi ada kecenderungan Islam dengan Muslim itu diasosiasikan terrorism dan teroris dalam proses pentrainingan artificial intelligence ini.

Tapi kalau yang sekarang itu saya lihat, apalagi Chat-GPT 4, itu sudah lebih sensitif sama hal-hal yang berbau agama. Pernah saya bilang – mungkin enggak perlu saya sebutkan contohnya karena tidak bagus untuk dicontohkan – terus kata AI-nya: “AI ini adalah mesin,” katanya, “kami tidak bisa menjawab yang berkaitan dengan emosi kamu terhadap kelompok lain.” Jadi kalau sekarang saya lihat, ada self control dari AI itu sendiri. Sebelumnya enggak.

Kalau riset saya itu bagaimana representasi perempuan Muslim dalam AI. Apakah ada bias terhadap perempuan Muslim? Dan itu ada. Jadi, kalau dalam program Dall-E kita masukkan foto kita, lalu nanti kita olah, gambar-gambar perempuan itu dipreteli, jadi enggak berkerudung, bagian badannya terbuka. Ada semacam cultural quotient terhadap Islam, terhadap perempuan Muslim terutama, untuk mengikuti hegemoni bagaimana perempuan Muslim itu dilihat dan harus dilihat. Itu riset saya.

Itu berarti sudah diolah pembuat AI-nya, atau memang tergantung suplai informasi yang dimasukkan ke AI?

Tergantung suplai informasi.

Nah, bagaimana cara kita menyuplai informasi itu?

Ya, itu sebenarnya kan kita enggak bisa, itu kan mungkin billion informations. Jadi sekarang mah produksi saja sebanyak-banyaknya. NU Online memproduksi all kind of news, atau informasi untuk kemudian AI itu bisa mempergunakannya.

Informasi di website, apa itu juga berguna bagi AI?

Iya. Itu kan kemudian menjadi training data.

Artinya AI itu juga mengolah dari berbagai hal yang ada di rimba internet?

Iya, yang ada data online-nya. Digital data itu yang diolah oleh AI, kemudian menjadi informasi yang quote and quote berguna bagi yang menanyakan.

Jadi, semakin informasi Islam dikembangkan, semakin berpeluang diolah AI?

Datanya makin banyak, gitu. Dan saya lihat sekarang ini makin banyak dibandingkan sebelumnya.

Tantangannya apa ke dunia media dan informasi?

Saya kira banyak. Persoalan trust, misalkan. Who should be trust, informasi siapa yang harus kita trust (percaya)? Karena AI itu bisa memberikan banyak jawaban yang berbeda-beda, tergantung pertanyaan kita. Jadi setiap kali bertanya tidak selalu sama jawabannya. Who to trust? Kalau ke orang kan ada konsistensi. Kita datang ke kiai, bertanya soal apa gitu, ada konsistensi jawaban. Kalau AI kan beda bertanya aja mungkin beda jawaban. Itu butuh trust.

Yang kedua, who should be online? Siapa yang harus online? Kan kita tahu ya, ada data bias, terutama tentang Islam dan Muslim. Nah, siapa yang bisa online, sehingga trustworthy (dapat dipercaya), news-nya. Karena AI bisa menciptakan fake news (berita bohong) juga dengan mudah, itu karena data tadi. Jadi ini masalah trust, masalah siapa yang bisa online dan memproduksi data.

Yang ketiga, ini permasalahan otoritas. Apakah jawaban AI memiliki otoritas? Kalau jawaban AI itu memiliki otoritas, bagaimana peranan para kiai? Itu kan akan mengubah konstruksi sosial peranan para kiai. Kalau dalam AI jawabannya satu macam, kalau kiai bisa menerangkan dengan nuance (perbedaan).

Makanya, kalau saya secara pribadi selalu berpendapat AI bagus, tetapi tetap aja, person information (informasi orang) itu lebih valuable (bernilai). Pendapat yang disampaikan oleh seseorang itu, pada level kiai misalkan, itu lebih valuable.

Tapi secara umum, dengan adanya digitalisasi informasi ini, sudah berubah otoritas itu. Kalau dulu kan ada posisi yang sangat sentral untuk para pemimpin keagamaan. Bukan hanya Islam saja, hampir semua. Tetapi sekarang ini sudah sangat berubah, kecuali misalkan orang-orang yang bisa memakai sosial media dengan baik.

Orangnya tinggal di Amerika, kiainya bisa jadi di Indonesia. Orangnya tinggal di Amerika, kiainya tinggal di Egypt, misalnya. Kalau dulu itu lewat YouTube, kan, orang bisa itu. Kalau sekarang sudah lebih gila lagi dengan ChatGPT itu. Enggak harus ke YouTube, langsung saja orang nanya, apa fatwa X, atau hal-hal seperti itu.

Dan AI juga, salah satu tantangannya, itu kan storage of data (penyimpanan data) nya itu harus diciptakan. Nah, itu juga berkaitan dengan storage data yang banyak, yang besar menyerap energi. Penyerapan energi itu juga berkontribusi terhadap mempercepatnya climate change (perubahan iklim), salah satu tantangannya.

Alurnya bagaimana?

AI ini kan internet. Internet membutuhkan storage. Storage kan harus ditempatkan di temperatur yang, pertama menyerap energi. Energinya bisa saja pakai cahaya surya, tetapi kemungkinan besar energinya memakai all fission, energinya memakai pule – apa Bahasa Indoensianya – oke, minyak.

Kalau memakai minyak kan mengambil fosil-fosil dari tanah. Kalau semakin banyak, misalkan, voltasenya yang digunakan untuk cold. Kan kita tahu, server itu harus di-cold storage. Cold storage itu mengambil data freon-freon. Freon-freon itu kan berbahaya buat udara. Jadi masih nyambung. Karena riset saya itu, tentang peranan komunitas dalam menghadapi climate change. Termasuk NU kan dalam hal ini  sudah banyak melakukan usaha-usaha untuk itu.

Apa aja sih varian AI itu, sebenarnya?

Ya sebetulnya banyak. Termasuk riset saya itu juga salah satu bagiannya: Bagaimana teknologi AI dipergunakan – bukan oleh orang Islamnya ya – untuk melihat orang Islam. Karena teknologi AI, kayak face recognition (pengenalan wajah) itu kan bisa digunakan untuk teroris, misalkan, ketahuan hanya siluet face-nya saja.

AI face recognition itu kan sudah dipakai untuk – mungkin di sini kita tidak keberatan ya, seolah-olah ber-volunteer (menjadi sukarelawan) memberikan face kita – tetapi ada database face sekarang ini. Jadi itu juga bisa dipergunakan – sebagaimana dulu nama dipergunakan untuk melihat itu teroris atau bukan, itu ketika sesudah 9/1, sekarang face recognition juga bisa dipergunakan – untuk melihat teroris.

Kan pernah ada kesalahan juga, dan itu banyak. AI itu juga digunakan untuk surgery, untuk operasi, misalnya, untuk kesehatan. Bahkan mungkin ke depannya akan ada AI-AI medical doctor, yang hanya sampai chatbot saja ngobrol tentang penyakit itu. Ke depannya diproyeksikannya seperti itu.

Belum AI-AI yang berhubungan dengan robotik teknologi yang sangat lebih cerdas. Sebenarnya sekarang ini sudah merambah ke banyak hal. Termasuk security itu sudah sangat AI relate (terkait), sekarang ini.

Jadi mungkin tantangannya sekarang bukan hanya berkisar pada otoritas kepemimpinan ulama atau keagamaan, kalau berbicara mengenai AI. Sebenarnya ini akan merambah ke semua bidang. Termasuk di antaranya, misalkan, prediksi. Jadi AI itu sebetulnya sangat prediktif, yaitu berhubungan dengan prediksi (perkiraan).

Prediksi keuangan, misalkan, harus investasi di stock (saham) yang mana. Prediksi keuangan. Jadi AI itu sebetulnya prediktif dan juga precision (ketepatan). Ketika itu, misalkan, mempergunakan robot yang berteknologi AI, itu precision, membuat sesuatu lebih presise (tepat). Jadi kalau AI kan enggak perlu shalat, ya, hehehe. Jadi menghemat waktu kalau memperkerjakan robot yang berdasarkan AI.

Di Jepang sudah kayak gitu?

Iya. Termasuk operasi juga presision. Jadi sudah sangat presision. Nah, sementara kan kalau manusia mah harus wudhu, butuh air, mungkin, hehehe. Harus shalat, juga space (jeda). Jadi itu tantangan kita. Bahkan di tempat yang lain itu ada yang katanya bisa confession (pengakuan iman; syahadat) melalui AI teknologi.

Jadi itu tantangannya, sebetulnya. Tapi semua juga prediktif. Dalam artian, AI-nya masih berkembang. Natural language processing (pengolahan bahasa alami) secara umum sedang berkembang. Misalkan yang paling dominan sekarang ini Chat-GPT. Itu dikeluarkan oleh Open AI. Tapi ada juga dari Google, namanya Bard.

Jadi semuanya sedang kompetisi untuk menciptakan itu. Walaupun kita users (pengguna) – saya kira orang Indonesia mungkin majority-nya users, ya – tetapi kita punya demografi. Bonusnya kan itu, sehingga kita masih tetap bisa merebut minimal supply informasinya, sama penggunaan-penggunaan AI yang bisa berguna untuk research kita,walaupun di satu sisi mungkin sangat challenging (menantang).

Apa yang harus kita persiapkan, atau yang harus kita lakukan, terutama generasi muda?

Kesadaran untuk ke menjadi informan yang trustworthy (dapat dipercaya) dan meningkatkan tanggung jawab. Karena itu berkaitan banget. Kita itu ketika menyampaikan data online, itu kan informan Sebenarnya. Mau enggak mau kita itu informan. Orang memberi informasimedia sosial, ke data, ke digital world.

Bagaimana kita menjadi informan yang trustworthy. Bagaimana kita menjadi informan yang bertanggung jawab. Bagaimana kita menjadi informan yang online, tapi concies of others (sadar orang lain, ed). Karena salah satu kekurangan robot, itu kan tidak ada emosi, tidak ada empati.

Nah, kita manusia itu punya dua-duanya: punya emosi, punya empati. Tapi bagaimana kita bisa memadukan emosi dan empati. Emosinya aja enggak cukup. Empati juga bagus, tetapi kita harus, karena empati bisa positif bisa juga berlebihan. Misalkan berempati pada kelompok yang dilarang oleh negara. Kan banyak yang kayak gitu. Itu kan empati juga.

Perlu enggak, misalnya, NU itu menyiapkannya beberapa kader mudanya untuk memang fokus belajar AI ini, entah beasiswa atau apa; sudah ada jurusannya, belum?

Ya banyak. Nanti (jurusan) computer science, data science, robotic, banyak sebetulnya, avenue (jalan)-nya. Saya kira bonus demografi di NU kan besar,banyak anggotanya. Jadi kalau melalui beasiswa malah lebih bagus.

Tapi kalau kita berbicara beasiswa untuk AI, misalkan, itu kan kemudian jadi berbicara mengenai kualitas pendidikan dari madrasah-madrasah dan pesantren. Itu isu yang besarnya mungkin, sebetulnya. Mungkin saja NU perlu, misalkan, memfokuskan beberapa pesantren menjadi pesantren teknologi. Selain dari agama, tetapi memiliki kekuatan (teknologi).

Katakanlah kita kan banyak yang harus salaf, pesantren itu. Nah, bagaimana kalau kita menciptakan pesantren, ya mau salaf bolehlah, mau tahfidz bolehlah, tapi ya teknologi. Jadi ada pesantren percontohan, baik itu SMK-nya SMK teknologi, misalkan, tetapi ya harus ada percontohan dulu. Jadi mungkin sekarang ini sudah ada pesantren yang kuat dan bisa mengarah ke sana.

Mungkin cara paling mudah ya, menurut saya, kayak inkubasi enam bulan. Inkubasi enam bulannya teman-teman anak-anak muda dari berbagai bidang, ada kedokteran, ada yang engineering, ada yang social science, ada yang humanities. Tetapi dididik enam bulan, dua hal: coding sama bahasa Inggris atau bahasa Arab, misalkan.

Nah, nanti dari enam orang ini juga, mereka disiapkan untuk melamar beasiswa, misalkan, ke berbagai perguruan tinggi sesuai dengan background-nya masing-masing. Nah, inkubasi ini yang kemudian akan melahirkan generasi barunya.

Kalau kita misalkan mimpi besar, okelah sekolah teknologi di pesantren-pesantren. Itu besar. Tetapi kalau kita kumpulkan, misalkan, aset terbaik dari PMII, IPNU, IPPNU atau semua organisasi lini mudanya ini, tetapi mereka diinkubator dan kemudian disiapkan untuk pergi S2. Atau ketika menyiapkan proposal S2 dari NU untuk LPDP, itu sudah dimasukkan.

Enam bulan persiapan bagi anak-anak yang terpilih, misalkan. Jadi harus integrated (terpadu), karena mungkin kalau hanya sekadar persiapan saja, nanti dianggapnya tidak termasuk. Padahal untuk kompetisi yang fair, diundang anak-anak NU terbaik. Karena kadang-kadang anak-anak NU kan pintar-pintar, tapi belum siap untuk kompetisi secara open (terbuka). Jadi dalam premis beasiswa itu mereka akan di-training, misalkan, enam bulan terlebih dahulu, dan kemudian diarahkan.

Saya tidak tahu bagaimana prosedur beasiswa saat ini. Tetapi yang kita perlukan, di NU terutama, itu persiapannya ini yang harus membuka akses sebanyak-banyaknya dari akar rumput, sehingga anak-anak muda ini terakomodasi. Karena kadang-kadang banyak yang pintar, tetapi bahasa Inggrisnya kurang, sehingga tidak bisa menuju negara-negara Eropa, misalkan Australia. Dan kita berhutang budi untuk masa depan mereka, menurut saya.

Jadi lembaga-lembaga NU menyediakan pendidikan dengan promise (janji; harapan) untuk menjadi anak yang shaleh. Tapi kan anak shaleh itu harus makan juga. Jadi mereka harus ditambah dengan keahlian yang relevan. Dan itu menjadi besar juga topiknya, karena siapkah anak-anak SMA kita atau SMK kita untuk bisa ke job market (lapangan kerja), misalkan.

Kadang-kadang kita melakukan pemisahan itu ya, “karena tugas kita kan menciptakan siswa-siswi yang shaleh.” Tapi pada saat yang sama, kita jangan lupa, mereka akan jadi ayah, mereka akan jadi ibu. Jadi bagaimana kita bisa equip (melengkapi) mereka dengan skill (keahlian).

Saya selalu berpikir itulah hutang budi kita sama generasi yang akan datang. Kalau saya begitu, cara melihatnya. We oldeng the future, promise them good education, charracter education. (Kita tuai masa depan, janjikan mereka pendidikan yang baik, pendidikan karakter.) Tetapi character education perlu di-include (masukkan) visi mengenai bagaimana mereka bisa sukses di masa yang akan datang: fiddunyā wal ākhirah (di dunia dan akhirat).

Komentar