KH. Abd. Hamid, lahir 20 September 1899 M.
Nama Ayah : KH. Thabri
Nama Ibu : Hajjah Syafiyah
Riwayat Pendidikan
Tahun 1918 sampai 1921 belajar di Pondok Pesantren Wangun Kabupaten Pasuruan dengan guru, KH. Nasib, KH. Shaleh, KH. Abd. Hamid dan KH. Muhammad.
Tahun 1922 sampai 1923 belajar di Makkatul Mukarramah dengan guru Syekh Khalid
Tahun 1924 sampai 1925 belajar di Pondok Pesantren Panji Sidoarjo dengan guru KH. Hazin dan KH. Hasyim Asyari
Tahun 1927 sampai 1930 belajar di Pondok Pesantren Sidogiri dengan guru KH. Nawawi Nurhan dan KH. Abd. Jalil
Tahun 1935 sampai 1941 belajar di Makkatul Mukarramah yang kedua kalinya dengan guru Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin, Syekh Maghrabi, Syekh Hasan Masyath, Sayyid Alwiy, dan Syekh Ali Maliki
Pengabdian Di Masyarakat
Dari tahun 1941 sampai 1945 sebagai Komandan Hisbullah dari Pulau Bawean
Dari tahun 1941 sampai 1948 sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Batusendi Sidogedungbatu Sangkapura.
1948 sampaai wafat sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Roudhotul Musytarsyidin Lautsungai Sidogedungbatu Sangkapura.
KH. Abd. Hamid menutup usianya ke 82 tahun dengan meninggalkan satu orang isteri dan tujuah anak (enam anak putra dan satu anak putri).
Profil K.H. Abdul Hamid Thabri
Syekh Abdul Mutthalib inilah yang kelak menurunkan para ulama dan penghulu Agama di bagian timur Bawean., terutama di desa Kebuntelukdalam dan Sidogedungbatu. Ayahanda K.H. Abdul Hamid Thabri bernama Kyai Thabri bin Kyai Nur. Kyai Nur adalah satu diantara enam orang putra-putri Syekh Abdul Mutthalib. Konon yang dua orang kembali ke Sulawesi dan yang empat orang tinggal di pulau Bawean. Ibu beliau bernama Hajjah Shafiyah. Beliau dilahirkan pada tanggal 20 September 1899 M., sebagai anak ke-2 dari 3 bersaudara. Kakak beliau bernama Hajjah Aminah dan adik beliau bernama Hajjah Zahrah.[11]
Masa-masa kecil beliau, dilalui di dusun Batu sendi. Hamid kecil dikenal agak nakal, tetapi punya perhatian besar pada masalah-masalah sosial. Beliau memulai pendidikan dasar keAgamaan pada ayahanda beliau sendiri, Kyai Thabri. Hingga pada usia 20 tahun, beliau menekuni pendidikan lanjutan di Pondok pesantren Wangun Pasuruan di bawah bimbingan guru-guru beliau, antara lain KH Nasib, KH. Saleh, KH. Abdul Hamid dan KH. Muhammad. Di Pesantren ini beliau menuntut ilmu Selama tiga tahun ( 1918 – 1921).
Setelah tiga tahun di Pasuruan, beliau melanjutkan pendidikan di Hijaz (Makkah), berguru kepada seorang Ulama asal Bawean (Tambak), bernama Syekh Khalid Khalil. Sekembalinya dari Makkah pada akhir tahun 1925, beliau melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Panji Sidoarjo. Di pesantren ini beliau berguru kepada Kyai Hazin dan menantunya KH. Hasyim Asy’ari, yang kelak dikenal sebagai pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ (NU ). Tidak puas sampai di sini, pada tahun 1927 K.H. Abdul Hamid Thabri lalu nyantri di Pondok pesantren Sidogiri Pasuruan, guru-guru beliau antara lain KH Nawawi dan KH. Abdul Jalil. Pesantren Sidogiri memang punya riwayat khusus dan hubungan emosional dengan tanah Bawean, oleh karena pengasuh kedua setelah Sayyid Sulaiman, adalah menantu beliau sendiri yang bernama Kyai Amanullah, adalah berasal dari Pulau Bawean. Setelah tiga tahun menimba ilmu di pesantren Sidogiri, beliau kembali belajar di Tanah Suci Makkah.
Pada kesempatan yang kedua inilah, beliau mempelajari berbagai ilmu keislaman, di bawah bimbingan guru-guru dari berbagai belahan dunia. Minat kepada dunia tasawwuf, yang pernah beliau pelajari dasar-dasarnya di pesantren Wangun, sekarang menemukan momentumnya. Guru-guru beliau antara lain: Syekh Umar Hamdun, Syekh Amin, Syekh Maghribi, Syekh Husein Mas’ad, Syekh Ali Maliki, Syekh Zen (asal Bawean), dan lain-lain.
Setelah belajar di Hijaz yang kedua kali, beliau langsung pulang dan mendirikan Pondok Pesantren di Batusendi. Beliau wafat pada malam ahad, 25 april 1981 M dan dimakamkan di kompleks pasarean keluarga Pondok Pesantren Nurul Huda Pancur.
Awal Sejarah Dakwah K.H. Abdul Hamid Thabri
Sepulang dari Makkah, tahun 1941, K.H. Abdul Hamid Thabri langsung mendirikan Pondok pesantren di Batusendi, dan ketika itu juga dipercaya menjadi Komandan Hizbullah Pulau Bawean. Beliau pasti tidak akan menolak amanat berat ini, karena merasa punya tanggung jawab melanjutkan perjuangan guru-guru beliau, untuk menegakkan Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Sehari-hari, beliau mengasuh santri-santri yang dipersiapkan untuk da’wah dan perjuangan Agama. Pesantren adalah tempat beliau mencetak kader-kader yang tafaqquh fi-al-din, sementara di Hizbullah, beliau ikut berjuang mengusir penjajah dalam rangka kemerdekaan.
Pada tahun 1948, beliau memindahkan pesantren dari dusun Batusendi ke Pancur. Pesantren baru ini diberi nama Raudlatul mustarsyidin. Konon, menjelang kembalinya ke masyarakat Batusendi, setelah bertahun-tahun menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya, masyarakat Batusendi, terutama tokoh-tokoh masyarakatnya, melakukan kesepakatan agar ketika beliau tiba, seluruh masyarakat harus memanggilnya dengan sebutan “Kyai”. Ini dilakukan karena dikhawatirkan beliau tidak bersedia untuk di-“kyai”-kan, padahal masyarakat sangat membutuhkannya. Lagi pula, di beberapa tempat di Pulau Bawean, masyarakat enggan menyebut Kyai kepada seseorang, karena melihat masa lalunya, walaupun sekarang dia sudah berubah dan sudah layak menyandangnya, baik dari sisi ilmu dan akhlaknya. Sejak itulah, K.H. Abdul Hamid Thabri, yang semula dikenal sebagai pemuda tengil, tiba-tiba menampakkan aura keulamaan, istiqomah, tegas dan tentu saja alim. Dari dirinya muncul gagasan-gagasan besar, semangat yang menyala-nyala untuk membimbing masyarakat yang ketika itu masih sangat awam dalam soal Agama.[12]
Hal ini terbukti dengan maraknya prkatik pemberian sesajen di persimpangan jalan, hutan pemujaan kepada benda-benda pusaka dan lain sebagainya. Hal ini dapat di pahami mengingat penyebaran Islam di Bawean tidak lepas dari Pengaruh Jawa. Pemujaan dan keprcayaan kepada kekuatan Ghaib tersebut, jauh sebelum Islam masuk ke Bawean, masyarkat suda meperaktikkannya. Mereka masi mempercayai jika pohon-pohon yang besar, mata ai, batu dan lainnya memeiliki kekuatan ghaib. Kepercayaan tersebut masi berlaku hingga awal aba 20-an bahkan samapai sekarang. Upacara-upacara keagamaan, seperti selamatan di sumber, rokat rumah dan selamatan labbhuen, masi cukup kental di masyarakat Bawean.
Ritual pemujaan, pemberian sesajen dan upacara-upacara ritual lainnya di lakukan agar mereka terhindar dari gangguan kekuatan ghaib yang diyakini dapat mengubah nasib masyrakat. Mereka percaya behwa para penghuni itu seringkali berdiam di tempat-tempat yang tinggi, percaya bahwa para roh itu akan turun, bahkan di anggap dapat mengganggu oaring sekiatarnya jika mereka tidak melakukan pengorbanan atau penghormatan.
Kepercayaan masyarakat bawean bahwa segala sesuatu mepunyai tenaga atau kekuatan yang dapat meperngaruhi keberhasilan atau kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mepertahankan hidup masih sangat kuat. Mereka percaya terhadap kekuatan ghaib dsn kekuatan itu dapat menolong mereka. Kekuatan ghaib itu dapat menolong mereka. Kekuatan ghaib itu terdapat di dalam benda-benda seerti keris benda-benda alam, gunung, pohon besar dan lain sebagaianya.
Untuk mendapatakan perttolongan kekutan ghaib tersebut merka melakukan upacara pemberian sesaji dan ritula lainnya kepercayaan masyarakat terkait tahyyul dan khurafat yang berkembang di bawean dianatara pemberian sesajen di simpang empat untuk keselamatan, membuat keranda hanya satu untuk satu mayat. Sebab menurut keyakina masyarakat jiak membuat keranda mayat permanen di Yakini menambah banyak oaring mati, ilmu santet yang merajalelah dan diyakini kebanyakan orang mati di Bawean mati karena santet. Selain itu, jika sorang istri sedang hamil, suaminya dilarang menyembeli hewan, membunuh binatang sekalipun dianjurkan untuk dibunuh oleh nabi seperti tikus, ular, cicak karena diyakini akan membuat anak yang di kandungnya menjadiu cacat dan sebagainya, serta tidak mau makan makanan orang yang dpercaya punya ilmu santet sekalipun bertamu atau ada acara selamat yang diadakan orang tersebut khawatir kena santet.
Ditengah keyakinan masyarakat yang masih bercampur dengan animisme dan dinamisme serta pengaruh Hindu-Budha yang masi kuat, hadirlah Kyai Hamid. Tokoh ulama’ yang giat melakukan dakwah billisan bil hal (Ucapan dan Tindakan). Usaha tersebut harus dilakukan Kyai Hamid hingga akhir hayatnya. Beliau sangat anti terhadap tahayyul khurfat yang dapat merusak pada kemurnian Tauhid, yakni dengan menyatukan serta totalitas keyakinan hanya kepada Allah S.W.T.
Pola Dakwah H. Abdul Hamid Thabri
Pengokohan Aqidah yang disampaikan K.H. Abdul Hamid Thabri adalah untuk mengobah pola pikir masyakat Bawean yang dulunya Agama Hindu-Budha. Karena di saat itu budaya-budanya yang dilakukan masyarakat banyak yang menyimpang denga Ajaran Syariat Islam yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah.
Dan K.H. Abdul Hamid Thabri mengajarkan Aqidah kepada masyarakat untuk merubah Ahklaq dan ajaran yang tidak sesuai dengan Syariat Islam. Penyebaran Islam di Bawean dulu mimang suda dulu Syeikh Maulana Umar Mas’aud dalam penyebaran Islam di Bawean, tapi tidak semua masyarakat tau banyak tentang ajaran Islam dan perlu di jelaskan lebih detail lagi.
Berkenaan dengan cara dakwah yang dilakukan K.H. Abdul Hamid Thabri di Bawean setidaknya dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu dakwa dengan lisan (bil-lisan) dan dakwah dengan tindakan (bil-hal).
Dakwah Bil Lisan (Dakwah Ucapan)
Gerakan dakwah yang dilakukan dengan lisan ini bisa beliau tekankan dalam ceramah , khutbah dan pengajian-pengajian rutin baik di dalam pesantren maupun luar pesantren. Setiap kali mengawali ceramahnya, K.H. Abdul Hamid Thabri selalu menekankan pentingnya taubat dan memperbaharui iman (tajdidul Iman). Hal ini lumrah dilakukan beliau saat diundang untuk mengisi ceramah diberbagai daerah di pulau Bawean. Sebagi mana yang dituturkan K. Marzuki salah satu tokoh masyarakat batu sendi yang selalu ikut pengajian K.H. Abdul Hamid Thabri misalnya pada acara Maulid Nabi yang diselengarakan di dusun Guntung.[13]
Dakwah Bil Hal (Dakawah dengan prilaku)
Sedangkan cara dakwah K.H. Abdul Hamid Thabri dengan tindakannya ia selalu membaca kalimat Tayyibah kemanapun ia pergi. Sebagai mana kesaksian Maswanah, warga Bawean, saat K.H. Abdul Hamid Thabri berpergian ke Desa kebuntelukdalam Bersama santrinya, beliau membaca kalimat tauhid dengan menyaringkan suaranya. Sehingga santri dan orang -orang disekitarnya mengikuti bacaannya. Rombongan yang di pimpin beliau ikut membaca Zdikir dengan suara yang cukup nyaring. Di zaman ini sangat jarang ditemukan bahkan hampir tidak ada para kyai yang meniru gaya K.H. Abdul Hamid Thabri dalam hal bacaan kalimat tauhid dengan suara yang keras.
Dengan cara ini masyarakat akan meniru saat beliau membaca kalimat Tayyibah, karena setiap ucapan yang dengan lisan dianggap penting dalam menyucikan diri dan hati. Ketika ada contoh seorang tokoh maka masyarakat dengan cara inilah Masyarakat akan ikut secara sepontan. Dengan cara ini masyarakat akan lebih dekat dalam keseharian dan kepatuhan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat akan lebih terkontrol dalam segi prilaku, moral, Aqidah dan ketentraman sesama tetangga. Dari segi inilah betapa pentingnya pendidkan Aqidah di kehidupan sehari-hari.
Keseharian K.H. Abdul Hamid Thabri
Setiap hari, sebelum subuh, beliau biasa keliling pondok untuk mengawasi kesiapan para santri untuk memulai aktifitas, setelah subuh, semua santri dianjurkan membaca surat Yasin, Waqi’ah dan Tabarak. Beliau juga dikenal menyukai Yasin Fadlilah dan Surat Waqi’ah. Selepas melaksanakan Sholat Dhuha dan mengajar, beliau biasa menerima tamu-tamu yang datang hingga menjelang waktu Dzuhur. dalam jama’ah Maghrib, beliau lebih sering membaca Surat Al-fil dan Al-humazah, dari pada Surat-surat lainnya. Kitab-kitab yang biasa beliau ajarkan antara lain Tafsir Jalalain, Fathul-qarib, Safinah An-najat, Sullamuttaufiq, Ar-riyadlul Badi’ah dan Jurmiyah.
Beliau dikenal sangat rajin bersilaturrahim dengan para kyai koleganya, ataupun dengan murid-muridnya. Dengan kuda tunggangannya, beliau selalu aktif mengunjungi tempat-tempat yang menjadi sasaran da’wahnya. Belakangan, saat usia beliau sudah uzdur dan tidak mungkin mengendarai kuda, silaturrahim tetap beliau jalani dengan tandu yang digotong oleh beberapa orang santrinya. Gaya bicaranya tegas, menampakkan sosok pribadi yang teguh pada pendirian. Sorot matanya tajam, memancarkan kewibawaan seorang besar. jika beliau berceramah selalu dimulai dengan anjuran untuk bertaubat dan memperbaharui iman (tajdid al-iman). Saat beliau bersilaturrahim berkeliling kampung, anak-anak kecil biasanya dengan riang gembira menyongsong kedatangan beliau, karena biasanya beliau selalu melempar-lemparkan uang recehan. Sebaliknya yang dewasa, diam ditempat untuk menunjukkan rasa Ta’dzim, hingga beliau berlalu.
Karena beliau sering bersilaturrahim, beliau juga sering mendapat kunjungan dari berbagai kalangan, terutama para sejawat beliau, antara lain: Kyai Muhammad Yasin Kepuh Teluk, Kyai Subhan Daun, Kyai Usman Telukdalam. Beliau dikenal sangat dekat dengan masyarakat bawah dan sangat tidak suka diistimewakan secara berlebihan. Pernah suatu ketika, beliau diundang acara mauludan (molotan) di kampong Guntong. Ketika acara sudah selesai, beliau mendapat bagian berkat yang paling besar. Menurut panitia, berkat itu memang sudah dipersiapkan khusus untuk beliau, oleh keponakan beliau sendiri, yang bernama Hj. Hikmah. Ketika mengetahui itu, beliau marah besar dan memanggil Hj. Hikmah , “hikmah, apa kamu kira saya sudah sangat miskin, sehingga kamu kasih saya lebih dari pada yang lain ?, sekarang ambil berkat itu dan bagikan kepada yang lain “.[14]
Tanggapan dan Pendapat Masyarakat Dalam Metode Dakwah
Dalam suatu perkampungan tentu tidak semua orang bisa menilai positif atau negative tentang tindakan yang kita lakukan. Tetapi dalam metode dakwa tentu ada cara-cara yang bisa mebuat orang mengikuti cara kita. Dengan dakwah K. H. Abdul Hamid Thabri ini cara dakwanya semuanya di ambil dan semuanya mengikuti dauh beliau, karena K.H. Abdul Hamid Thabri dalam metode dakwanya tidak memaksa atau dengan cara kekerasan. Dan semua Tindakan yang dilakukan K.H. Abdul Hamid Thabri di lakukan dengan hati atau dengan kalimat-kalimat tayyibah.
Dalam suatu perkampungan tentu tidak semua orang bisa menilai positif atau negative tentang tindakan yang kita lakukan. Tetapi dalam metode dakwa tentu ada cara-cara yang bisa mebuat orang mengikuti cara kita. Dengan dakwah K.H. Abdul Hamid Thabri ini cara dakwanya semuanya di ambil dan semuanya mengikuti dauh beliau, karena K.H. Abdul Hamid Thabri dalam metode dakwanya tidak memaksa atau dengan cara kekerasan. Dan semua Tindakan yang dilakukan K.H. Abdul Hamid Thabri di lakukan dengan hati atau dengan kalimat-kalimat tayyibah.[15]
Rahwati matulis Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1994),h. 1
Muhammad Fauzi Rauf teguh dan tegar dalam memegang prinsip “dalam Media Bawean” di unduh pada 2014
Wawancara Ust. Ahmad Zybaidi cicit K.H. Abdul Hamid Thabri 2021
Wawancara Gus Mahfud cucu dari K.H Abdul Hamid Thabri
Artikel Ainul Yaqin, Dosen Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo,
Wanacara santri Senior Pondok Pesantren Nurul Huda Pancor 2020
Komentar