KH Wahid Hasyim dan Kegemarannya Menghafal Al-Qur’an

NUPedia127 Dilihat

KH Abdul Wahid Hasyim menjelma sebagai tokoh nasional di saat usianya masih terbilang muda belia. Pemikirannya yang brilian dan keaktifannya dalam berbagai kesempatan membawanya menjadi salah satu sosok negarawan.

Latar belakangnya sebagai santri juga tidak sekadar mengantar Kiai Wahid sebagai tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan, melainkan juga ulama yang membawa kemaslahatan bagi dunia Islam di Indonesia. Perannya semakin nyata di bidang itu manakala sosoknya ditunjuk sebagai menteri yang menjadi penghubung dengan para ulama dan menteri agama.

 

Sebagai seorang berlatar belakang pendidikan pesantren, Kiai Wahid sangat menggemari Al-Qur’an. Bahkan di tengah padat dan sibuknya mengikuti berbagai kegiatan, Kiai Wahid menyempatkan diri untuk senantiasa mendaras dan menghafal Al-Qur’an. Hal demikian diungkapkan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam tulisannya, “Segi-Segi Manusiawi dalam Biografi Perjuangan KH Abdul Wahid Hasyim”, yang terdapat dalam buku Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid 3 (1982: 202).

“Kegemarannya menelaah kitab-kitab agama di bidang fiqih, aqaid, tafsir, hadits, tasawuf, dan lain-lain, demikian pula buku-buku ilmiah dan kemasyarakatan dalam bahasa Belanda dan Inggris, namun tidak mengabaikan kegemarannya yang lain ialah menghafal Al-Qur’an.”

Kiai Saifuddin menceritakan bahwa kesibukan Kiai Wahid sebagai pemimpin nasional yang memiliki hari-hari penuh acara sama sekali tak membuatnya kehilangan waktu untuk menghafal Al-Qur’an. Ia selalu menyediakan waktu untuk menunaikan kegemarannya itu. Bahkan, sekalipun ia dalam suatu sidang kabinet, diskusi dengan para tokoh, hingga menyetir mobil. Pokoknya, kalau sudah tiba masanya mendaras Al-Qur’an, Kiai Wahid berupaya untuk selalu menyempat-nyempatkannya.

“Dengan demikian, maka setiap gari selalu ada peluang waktu yang disempat-sempagkan untuk meneruskan hafalannya membaca Al-Qur’an di luar kepala.”

Dalam pandangan Kiai Saifuddin, mentornya itu tidak tentu mengkhatam hafalannya, bergantung pada waktu yang dimiliki untuk mendarasnya di tiap-tiap harinya, bisa beberapa hari atau minggu.

Hafalan Al-Qur’an itu tidak hanya dibaca di sela-sela kesibukan aktivitasnya saja. Kiai Wahid juga melanjutkan hafalannya tersebut saat menunaikan shalat.

“Dalam pada itu, Al-Qur’an juga dibaca (di luar kepala) dalam tiap-tiap sembahyang untuk menambah sambungan ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafal pada hari yang bersangkutan.”

Jika dalam perjalanan, Kiai Saifuddin kerap berbagi peran untuk menyetir mobil dengan Kiai Wahid. Jika tiba gilirannya mengemudikan, Kiai Wahid meneruskan hafalan Al-Qur’annya dan diikuti diskusi tentang berbagai hal, mulai persoalan keagamaan, kemasyarakatan, hingga politik.

Kegemarannya dalam menghafal Al-Qur’an juga menginispirasinya untuk menginisiasi pendirian organisasi para ahli dan penghafal Al-Qur’an. Ia mengundang para penghafal dan ahli dalam membaca Al-Qur’an untuk mendiskusikan idenya tersebut di rumahnya pada malam Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan 1369 H atau 22 Juni 1950 M. Dari pertemuan itulah, terbentuk dan berdiri Jamiyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) pada 15 Januari 1951 M.

Sebelumnya, sudah berdiri sejumlah organisasi penghafal Al-Qur’an di beberapa kota. Di antaranya, Jam’iyyatul Huffazh (Kudus, Jawa Tengah), Nahdlatul Qurra (Jombang, Jawa Timur), Wihdatul Qurra (Sulawesi Selatan), Persatuan Pelajar Ilmu Qiraatul Qur’an (Banjarmasin), Madrasatul Qur’an (Palembang), dan Jam’iyyatul Qurra (Medan, Sumatera Utara). Kesemuanya itu kemudian dipersatukan Kiai Wahid dalam wadah JQHNU.

KH Abdul Wahid Hasyim wafat dalam usianya yang masih terbilang muda, yaitu 38 tahun, pada 19 April 1953 dalam sebuah kecelakaan di Cimahi, Jawa Barat dalam sebuah perjalanan menuju acara NU di Sumedang, Jawa Barat. Ia lahir di Jombang, Jawa Timur pada 1 Juni 1914.

Komentar